Jumat, 21 November 2008

di teritis rumah kulihat kau bercerita sambil menari

pada mulanya mungkin kami adalah kertaskertas kosong yang tenang lalu tangan tuhan yang sedang kesal mencoretcoret kami dan mencampakkan kami - bolabola kertas kumal- ke bumi , beberapa dari kami mungkin disandiwarakan dalam salah satu kelahiran di rumah kalian.

kami cuma kenal rasa jelaga, hitam dan ampang.
kami bernapas dengan zat asam arang, karena kami cuma berteman pepohonan di waktu malam. kami tahu mata angin tapi kami selalu tersesat dan berjalan serong, menyamping-menyimpang.

perhatikan rumput-rumput di pelataran kalian, pernahkah kau berpikir bahwa mereka ada untuk mengejek kami? betapa mereka selalu tumbuh lagi setiap setelah kau pangkas, mencibiri kami yang tidak pernah benarbenar tumbuh, dan apalagi sampai menjadi bernas.

kami memimpikan lubang cacing setiap malam, perjalananperjalanan memusingkan yang tak pernah berhenti bahkan ketika kami tak tidur.

mata kami cekung, penuh lingkaran hitam
bibir kami biru, menuju hitam
kami : anakanak milik lubang hitam

buang,
buanglah kami..
biar kesunyian yang marah memulung kami
dan kami akan dilahirkan kembali
menari di teritis rumah kalian
persis!
seperti ini

pasang laut ketigapuluhtujuh

ombak sedang tinggi
betapa kau pilih musim yang tepat untuk pergi
meninggalkanku dalam lapak
sempit dan apak

badanku dibujukbujuk maut
tepat benar kau pilih waktu untuk bersikeras melaut

mungkin butirbutir pasir yang menelusup dari tingkap angin
terhirup dan tinggal di paruparuku
darinya kudengar kau takkan kembali
kabar yang didesaukannya berulang di tiap sepenarikan nafasku

laut pasang penuh
tapi besok takkan kukumpulkan lokanlokan yang tertinggal di pantai
sebab kau takkan pulang bukan?
dan aku pun tak akan tinggal
sudah kubiarkan hatiku habis
dihisap balingbaling perahumu

Selasa, 18 November 2008

kau dan lampu merah

aku mencintamu seperti mencinta
lampu
merah

mata sewarna luka yang paling setia
memintaku
istirah

ode

sengaja kau jatuhkan lagi kunci di jalan, bukan ?
biar bisa tak pulang
biar bisa bermain-main di serba lima ribu
sembunyi di sisi rak tempat boneka hiu yang matanya hilang satu

kau masih jadi pembeli yang memburu bau ibumu
dan aku pramuniaga yang membantumu
menemukannya di tumpukan kapur barus stok tahun lalu

sendu.

Rabu, 12 November 2008

re-post

…tentang matahari yang kehilangan bumi
semata kepercumaan yang tak pernah pagi
kutemukan wajahku letih dan sunyi
sementara bulan muda merayakan terang untuknya sendiri kini
melangit sampai tak terinjak debu dan dongeng tentang peri gigi
aku adalah quasar yang hampir memilih menjadi bintang mati
sewaktu kau datang
”perkenalkan, namaku lubang hitam. Untuk siapa kau membiarkan dirimu terbakar habis sementara padaku ada gravitasi yang sepenuhnya adalahbenderang paling siang?”
putus asa aku menuju padamu
hanya untuk menjadi buta oleh cahaya
kenapa dulu tak kau biarkan saja aku menjadi nebula...?


Malam pingsan. Apa yang kudapatkan kali ini? Keinginan untuk menulisi langit dengan cerita tentang anak anak yang baru tumbuh gigi? Tentang burung burung hantu yang tak pernah bisa kutemukan rumahnya? Tentang musim hujan yang terlalu sebentar? Tentang sungai sungai yang menjadi selokan? Tentang buku buku yang hilang? Tentang apa saja. Karena langit cuma jelaga malam ini, tidak mendung, tidak berawan, tidak ada bulan, tidak ada bintang, tidak ada suar di kejauhan, tidak ada seleret lampu pesawat, tidak ada kelelawar. Sepi. Mungkinkah kau di sana lubang hitam? Sedang menelan galaksi dan bintang bintang sampai langit jadi kosong dan tidak menyisakan apa apa untuk kutulis malam ini? Tapi kau memang selalu menelan apapun di sekelilingku, cuma selalu menyisakan dirimu, di penglihatanku, di raba-dengarku.

Lubang hitam itu, kau tahu, adalah seseorang. Seseorang yang seperti begitu saja muncul dari balik kabut. Begitu saja aku membaca sebuah nama di selebaran, begitu saja aku menyimpan nama itu di salah satu sudut ingatan yang paling jarang digunakan, kemudian begitu saja berjabat tangan dengan pemilik nama itu pada malam harinya. Yah, begitu saja.. Ketika kudapati aku seperti beredar mengelilingi sebuah pusat baru, sesuatu yang bernama dirimu.

Berada di dekatmu,waktu jadi seperti air terjun, mengalir cepat sebagai arus deras yang menelan segala. Dan aku selalu saja merupa perempuan karam pada jeram dan lubuk lubuk dalam yang berhulu di matamu. Tidak pernah kutanyakan siapa dirimu, pun tidak pernah kau tanyakan siapa diriku. Kau tetap hidup dalam kepekatan kabut yang tak kupahami, sedangkan aku selalu berdiri di luarnya, mencoba mengintip duniamu selagi menyambutmu datang atau melepasmu pulang. Tapi mataku tetap tidak bisa menembus keremangan yang mengikutimu kemanapun.

Kau pernah bilang, ”...aku cuma bisa membawamu ke tepi tepi saja. Jauh di balik kabut itu, ada sebuah dunia tanpa suara, di mana setiap orang melihat kesedihan sebagai dua kali lebih menyedihkan, dan melihat kesenangan hanyalah pertanda akan datangnya kesedihan yang lain. Jalan jalannya begitu sunyi, karena semua orang sibuk menulisi lontar-lontar dalam diam dengan cerita-cerita dari negeri yang jauh, kemudian melemparkan lontar-lontar itu ke perapian. Belakangan perapian itu semakin besar dan apinya membuatku gerah, karena itu aku berjalan jalan keluar sebentar...”

Lalu aku menjawabmu, ”...aku juga cuma bisa membawamu ke tepi tepi saja. Jalan jalan di tempatku sangat gelap, kau akan lebih sering merasa buta, lebih sering diarahkan oleh suara suara. Suara yang berteriak teriak di kepalamu, membentak dan menghelamu kesana kemari. Lalu kau akan merasa sangat ingin berlari sampai kau kelelahan dan penuh lebam karena tersandung bermacam benda yang tak kau kenali sebab jalannya yang terlalu malam. Temanku cuma burung hantu, karena itu aku juga ingin berjalan jalan keluar sebentar...”

Lihatlah, bukankah kita sudah sangat saling memahami?

Kau selalu datang dengan buku cerita tentang senja dan hujan. Kau lebih banyak diam sementara aku selalu bicara tentang hal hal yang tidak masuk akal. Dan aku akan bertanya tanya, memangnya pada dunia sejauh apa kau tinggal, karena setiap kali kau kutanya kenapa diam, kau selalu menjawab, ”...katakata tercecer di perjalanan...” kubayangkan perjalanan yang sampai menghabiskan katakata seperti itu pasti sangat panjang dan tempatmu pasti sangat jauh. Tapi kau tak pernah terlalu lelah untuk mengajakku melintasi lapangan rumput yang luas, membawaku ke atap gedung tinggi (sekarang kita sudah beberapa meter lebih dekat ke bulan, katamu), kau membawaku menandai jalan jalan yang basah setelah hujan, sekali dua kali menanyakan arah di sebuah kota asing dan kubawa menakung di tepi kali yang memantulkan wajah bulan yang pasi.

Bersamamu adalah buku buku yang terbuka, kata kata menjadi lebih mengada, bulan menjadi lebih kuning, senja seperti semakin ungu, bau rumput menjadi lebih tajam. Kemudian: malam, hujan, sajak, kembang api, kunang kunang, ombak dan angin adalah perjalanan panjang menziarahimu.

Tapi aku selalu tak bisa paham, setiap kali tiba tiba kau menghilang dalam kepekatan yang paling sunyi, dalam kabut yang paling melenyapkan dan paling tidak bisa ditemukan. Sedangkan aku selalu berusaha berdiri di tepian yang tinggi, memastikan kau tetap bisa melihatku, bahkan dari kejauhan sekalipun. Namun kau lebih sering menjadi layang layang yang putus. Meninggalkanku bersama tempolong dan benang yang tersimpul rumit di sana sini. Ketika aku menemukanmu lagi, aku akan bertanya, ”...hatimu tidak pernah bisa menetap bukan?...” dan kau akan menjawab, ”...terlalu banyak ketidakpastian, kau pasti paham...”

Lalu aku hanya akan duduk diam. Menjadi sering memperhatikan langit, mencari layang layang yang sekali lagi (terasa) hilang, kadangkadang sampai larut malam. Dan akupun menunggu bulan jadi keperakan, menandai bintang yang paling terang, atau mencatat bentuk bentuk aneh pada awan, hanya untuk kuceritakan padamu suatu saat nanti, ketika kau mungkin akan datang lagi dari balik kabut itu, ketika aku tidak lagi bertanya tanya, ”...kau di mana menikmati semua ini? Aku sendiri dan sia sia...”

Maka setiap kali kau tak ada, aku percaya saja kau sedang menjelma lubang hitam yang menelan segala apa. Setiap yang kulihat, kegelapan yang sangat itu, atau cahaya yang terlalu itu, mungkin adalah dirimu. Kurasa aku juga sudah habis kau hisap dalam ketaksadaran yang paling panjang.........

Senin, 03 November 2008

di pasar malam

di pasar malam,

terkemas
bersama gulagula kapas
manis dan lumer
di mulutku

: kau