kotak gula pasir di samping wajahku.
jauh di bawah jendela kaca
kota kita mulai kembali menjadi nota
mobil dan orang memutari jalan
enggan dan lamban
masih,
kucetak wajahmu di muka stempel setiap pagi
kubawa menandai satupersatu
mimpi yang kutunailunaskan lalu kumasukkan ke saku baju
kotak gula pasir di samping wajahku
kusimpan,
untuk mungkin -kelak entah kapan-
kau minta menemani kopi pahitmu
Jumat, 12 Desember 2008
Jumat, 21 November 2008
di teritis rumah kulihat kau bercerita sambil menari
pada mulanya mungkin kami adalah kertaskertas kosong yang tenang lalu tangan tuhan yang sedang kesal mencoretcoret kami dan mencampakkan kami - bolabola kertas kumal- ke bumi , beberapa dari kami mungkin disandiwarakan dalam salah satu kelahiran di rumah kalian.
kami cuma kenal rasa jelaga, hitam dan ampang.
kami bernapas dengan zat asam arang, karena kami cuma berteman pepohonan di waktu malam. kami tahu mata angin tapi kami selalu tersesat dan berjalan serong, menyamping-menyimpang.
perhatikan rumput-rumput di pelataran kalian, pernahkah kau berpikir bahwa mereka ada untuk mengejek kami? betapa mereka selalu tumbuh lagi setiap setelah kau pangkas, mencibiri kami yang tidak pernah benarbenar tumbuh, dan apalagi sampai menjadi bernas.
kami memimpikan lubang cacing setiap malam, perjalananperjalanan memusingkan yang tak pernah berhenti bahkan ketika kami tak tidur.
mata kami cekung, penuh lingkaran hitam
bibir kami biru, menuju hitam
kami : anakanak milik lubang hitam
buang,
buanglah kami..
biar kesunyian yang marah memulung kami
dan kami akan dilahirkan kembali
menari di teritis rumah kalian
persis!
seperti ini
kami cuma kenal rasa jelaga, hitam dan ampang.
kami bernapas dengan zat asam arang, karena kami cuma berteman pepohonan di waktu malam. kami tahu mata angin tapi kami selalu tersesat dan berjalan serong, menyamping-menyimpang.
perhatikan rumput-rumput di pelataran kalian, pernahkah kau berpikir bahwa mereka ada untuk mengejek kami? betapa mereka selalu tumbuh lagi setiap setelah kau pangkas, mencibiri kami yang tidak pernah benarbenar tumbuh, dan apalagi sampai menjadi bernas.
kami memimpikan lubang cacing setiap malam, perjalananperjalanan memusingkan yang tak pernah berhenti bahkan ketika kami tak tidur.
mata kami cekung, penuh lingkaran hitam
bibir kami biru, menuju hitam
kami : anakanak milik lubang hitam
buang,
buanglah kami..
biar kesunyian yang marah memulung kami
dan kami akan dilahirkan kembali
menari di teritis rumah kalian
persis!
seperti ini
pasang laut ketigapuluhtujuh
ombak sedang tinggi
betapa kau pilih musim yang tepat untuk pergi
meninggalkanku dalam lapak
sempit dan apak
badanku dibujukbujuk maut
tepat benar kau pilih waktu untuk bersikeras melaut
mungkin butirbutir pasir yang menelusup dari tingkap angin
terhirup dan tinggal di paruparuku
darinya kudengar kau takkan kembali
kabar yang didesaukannya berulang di tiap sepenarikan nafasku
laut pasang penuh
tapi besok takkan kukumpulkan lokanlokan yang tertinggal di pantai
sebab kau takkan pulang bukan?
dan aku pun tak akan tinggal
sudah kubiarkan hatiku habis
dihisap balingbaling perahumu
betapa kau pilih musim yang tepat untuk pergi
meninggalkanku dalam lapak
sempit dan apak
badanku dibujukbujuk maut
tepat benar kau pilih waktu untuk bersikeras melaut
mungkin butirbutir pasir yang menelusup dari tingkap angin
terhirup dan tinggal di paruparuku
darinya kudengar kau takkan kembali
kabar yang didesaukannya berulang di tiap sepenarikan nafasku
laut pasang penuh
tapi besok takkan kukumpulkan lokanlokan yang tertinggal di pantai
sebab kau takkan pulang bukan?
dan aku pun tak akan tinggal
sudah kubiarkan hatiku habis
dihisap balingbaling perahumu
Selasa, 18 November 2008
kau dan lampu merah
aku mencintamu seperti mencinta
lampu
merah
mata sewarna luka yang paling setia
memintaku
istirah
lampu
merah
mata sewarna luka yang paling setia
memintaku
istirah
ode
sengaja kau jatuhkan lagi kunci di jalan, bukan ?
biar bisa tak pulang
biar bisa bermain-main di serba lima ribu
sembunyi di sisi rak tempat boneka hiu yang matanya hilang satu
kau masih jadi pembeli yang memburu bau ibumu
dan aku pramuniaga yang membantumu
menemukannya di tumpukan kapur barus stok tahun lalu
sendu.
biar bisa tak pulang
biar bisa bermain-main di serba lima ribu
sembunyi di sisi rak tempat boneka hiu yang matanya hilang satu
kau masih jadi pembeli yang memburu bau ibumu
dan aku pramuniaga yang membantumu
menemukannya di tumpukan kapur barus stok tahun lalu
sendu.
Rabu, 12 November 2008
re-post
…tentang matahari yang kehilangan bumi
semata kepercumaan yang tak pernah pagi
kutemukan wajahku letih dan sunyi
sementara bulan muda merayakan terang untuknya sendiri kini
melangit sampai tak terinjak debu dan dongeng tentang peri gigi
aku adalah quasar yang hampir memilih menjadi bintang mati
sewaktu kau datang
”perkenalkan, namaku lubang hitam. Untuk siapa kau membiarkan dirimu terbakar habis sementara padaku ada gravitasi yang sepenuhnya adalahbenderang paling siang?”
putus asa aku menuju padamu
hanya untuk menjadi buta oleh cahaya
kenapa dulu tak kau biarkan saja aku menjadi nebula...?
Malam pingsan. Apa yang kudapatkan kali ini? Keinginan untuk menulisi langit dengan cerita tentang anak anak yang baru tumbuh gigi? Tentang burung burung hantu yang tak pernah bisa kutemukan rumahnya? Tentang musim hujan yang terlalu sebentar? Tentang sungai sungai yang menjadi selokan? Tentang buku buku yang hilang? Tentang apa saja. Karena langit cuma jelaga malam ini, tidak mendung, tidak berawan, tidak ada bulan, tidak ada bintang, tidak ada suar di kejauhan, tidak ada seleret lampu pesawat, tidak ada kelelawar. Sepi. Mungkinkah kau di sana lubang hitam? Sedang menelan galaksi dan bintang bintang sampai langit jadi kosong dan tidak menyisakan apa apa untuk kutulis malam ini? Tapi kau memang selalu menelan apapun di sekelilingku, cuma selalu menyisakan dirimu, di penglihatanku, di raba-dengarku.
Lubang hitam itu, kau tahu, adalah seseorang. Seseorang yang seperti begitu saja muncul dari balik kabut. Begitu saja aku membaca sebuah nama di selebaran, begitu saja aku menyimpan nama itu di salah satu sudut ingatan yang paling jarang digunakan, kemudian begitu saja berjabat tangan dengan pemilik nama itu pada malam harinya. Yah, begitu saja.. Ketika kudapati aku seperti beredar mengelilingi sebuah pusat baru, sesuatu yang bernama dirimu.
Berada di dekatmu,waktu jadi seperti air terjun, mengalir cepat sebagai arus deras yang menelan segala. Dan aku selalu saja merupa perempuan karam pada jeram dan lubuk lubuk dalam yang berhulu di matamu. Tidak pernah kutanyakan siapa dirimu, pun tidak pernah kau tanyakan siapa diriku. Kau tetap hidup dalam kepekatan kabut yang tak kupahami, sedangkan aku selalu berdiri di luarnya, mencoba mengintip duniamu selagi menyambutmu datang atau melepasmu pulang. Tapi mataku tetap tidak bisa menembus keremangan yang mengikutimu kemanapun.
Kau pernah bilang, ”...aku cuma bisa membawamu ke tepi tepi saja. Jauh di balik kabut itu, ada sebuah dunia tanpa suara, di mana setiap orang melihat kesedihan sebagai dua kali lebih menyedihkan, dan melihat kesenangan hanyalah pertanda akan datangnya kesedihan yang lain. Jalan jalannya begitu sunyi, karena semua orang sibuk menulisi lontar-lontar dalam diam dengan cerita-cerita dari negeri yang jauh, kemudian melemparkan lontar-lontar itu ke perapian. Belakangan perapian itu semakin besar dan apinya membuatku gerah, karena itu aku berjalan jalan keluar sebentar...”
Lalu aku menjawabmu, ”...aku juga cuma bisa membawamu ke tepi tepi saja. Jalan jalan di tempatku sangat gelap, kau akan lebih sering merasa buta, lebih sering diarahkan oleh suara suara. Suara yang berteriak teriak di kepalamu, membentak dan menghelamu kesana kemari. Lalu kau akan merasa sangat ingin berlari sampai kau kelelahan dan penuh lebam karena tersandung bermacam benda yang tak kau kenali sebab jalannya yang terlalu malam. Temanku cuma burung hantu, karena itu aku juga ingin berjalan jalan keluar sebentar...”
Lihatlah, bukankah kita sudah sangat saling memahami?
Kau selalu datang dengan buku cerita tentang senja dan hujan. Kau lebih banyak diam sementara aku selalu bicara tentang hal hal yang tidak masuk akal. Dan aku akan bertanya tanya, memangnya pada dunia sejauh apa kau tinggal, karena setiap kali kau kutanya kenapa diam, kau selalu menjawab, ”...katakata tercecer di perjalanan...” kubayangkan perjalanan yang sampai menghabiskan katakata seperti itu pasti sangat panjang dan tempatmu pasti sangat jauh. Tapi kau tak pernah terlalu lelah untuk mengajakku melintasi lapangan rumput yang luas, membawaku ke atap gedung tinggi (sekarang kita sudah beberapa meter lebih dekat ke bulan, katamu), kau membawaku menandai jalan jalan yang basah setelah hujan, sekali dua kali menanyakan arah di sebuah kota asing dan kubawa menakung di tepi kali yang memantulkan wajah bulan yang pasi.
Bersamamu adalah buku buku yang terbuka, kata kata menjadi lebih mengada, bulan menjadi lebih kuning, senja seperti semakin ungu, bau rumput menjadi lebih tajam. Kemudian: malam, hujan, sajak, kembang api, kunang kunang, ombak dan angin adalah perjalanan panjang menziarahimu.
Tapi aku selalu tak bisa paham, setiap kali tiba tiba kau menghilang dalam kepekatan yang paling sunyi, dalam kabut yang paling melenyapkan dan paling tidak bisa ditemukan. Sedangkan aku selalu berusaha berdiri di tepian yang tinggi, memastikan kau tetap bisa melihatku, bahkan dari kejauhan sekalipun. Namun kau lebih sering menjadi layang layang yang putus. Meninggalkanku bersama tempolong dan benang yang tersimpul rumit di sana sini. Ketika aku menemukanmu lagi, aku akan bertanya, ”...hatimu tidak pernah bisa menetap bukan?...” dan kau akan menjawab, ”...terlalu banyak ketidakpastian, kau pasti paham...”
Lalu aku hanya akan duduk diam. Menjadi sering memperhatikan langit, mencari layang layang yang sekali lagi (terasa) hilang, kadangkadang sampai larut malam. Dan akupun menunggu bulan jadi keperakan, menandai bintang yang paling terang, atau mencatat bentuk bentuk aneh pada awan, hanya untuk kuceritakan padamu suatu saat nanti, ketika kau mungkin akan datang lagi dari balik kabut itu, ketika aku tidak lagi bertanya tanya, ”...kau di mana menikmati semua ini? Aku sendiri dan sia sia...”
Maka setiap kali kau tak ada, aku percaya saja kau sedang menjelma lubang hitam yang menelan segala apa. Setiap yang kulihat, kegelapan yang sangat itu, atau cahaya yang terlalu itu, mungkin adalah dirimu. Kurasa aku juga sudah habis kau hisap dalam ketaksadaran yang paling panjang.........
semata kepercumaan yang tak pernah pagi
kutemukan wajahku letih dan sunyi
sementara bulan muda merayakan terang untuknya sendiri kini
melangit sampai tak terinjak debu dan dongeng tentang peri gigi
aku adalah quasar yang hampir memilih menjadi bintang mati
sewaktu kau datang
”perkenalkan, namaku lubang hitam. Untuk siapa kau membiarkan dirimu terbakar habis sementara padaku ada gravitasi yang sepenuhnya adalahbenderang paling siang?”
putus asa aku menuju padamu
hanya untuk menjadi buta oleh cahaya
kenapa dulu tak kau biarkan saja aku menjadi nebula...?
Malam pingsan. Apa yang kudapatkan kali ini? Keinginan untuk menulisi langit dengan cerita tentang anak anak yang baru tumbuh gigi? Tentang burung burung hantu yang tak pernah bisa kutemukan rumahnya? Tentang musim hujan yang terlalu sebentar? Tentang sungai sungai yang menjadi selokan? Tentang buku buku yang hilang? Tentang apa saja. Karena langit cuma jelaga malam ini, tidak mendung, tidak berawan, tidak ada bulan, tidak ada bintang, tidak ada suar di kejauhan, tidak ada seleret lampu pesawat, tidak ada kelelawar. Sepi. Mungkinkah kau di sana lubang hitam? Sedang menelan galaksi dan bintang bintang sampai langit jadi kosong dan tidak menyisakan apa apa untuk kutulis malam ini? Tapi kau memang selalu menelan apapun di sekelilingku, cuma selalu menyisakan dirimu, di penglihatanku, di raba-dengarku.
Lubang hitam itu, kau tahu, adalah seseorang. Seseorang yang seperti begitu saja muncul dari balik kabut. Begitu saja aku membaca sebuah nama di selebaran, begitu saja aku menyimpan nama itu di salah satu sudut ingatan yang paling jarang digunakan, kemudian begitu saja berjabat tangan dengan pemilik nama itu pada malam harinya. Yah, begitu saja.. Ketika kudapati aku seperti beredar mengelilingi sebuah pusat baru, sesuatu yang bernama dirimu.
Berada di dekatmu,waktu jadi seperti air terjun, mengalir cepat sebagai arus deras yang menelan segala. Dan aku selalu saja merupa perempuan karam pada jeram dan lubuk lubuk dalam yang berhulu di matamu. Tidak pernah kutanyakan siapa dirimu, pun tidak pernah kau tanyakan siapa diriku. Kau tetap hidup dalam kepekatan kabut yang tak kupahami, sedangkan aku selalu berdiri di luarnya, mencoba mengintip duniamu selagi menyambutmu datang atau melepasmu pulang. Tapi mataku tetap tidak bisa menembus keremangan yang mengikutimu kemanapun.
Kau pernah bilang, ”...aku cuma bisa membawamu ke tepi tepi saja. Jauh di balik kabut itu, ada sebuah dunia tanpa suara, di mana setiap orang melihat kesedihan sebagai dua kali lebih menyedihkan, dan melihat kesenangan hanyalah pertanda akan datangnya kesedihan yang lain. Jalan jalannya begitu sunyi, karena semua orang sibuk menulisi lontar-lontar dalam diam dengan cerita-cerita dari negeri yang jauh, kemudian melemparkan lontar-lontar itu ke perapian. Belakangan perapian itu semakin besar dan apinya membuatku gerah, karena itu aku berjalan jalan keluar sebentar...”
Lalu aku menjawabmu, ”...aku juga cuma bisa membawamu ke tepi tepi saja. Jalan jalan di tempatku sangat gelap, kau akan lebih sering merasa buta, lebih sering diarahkan oleh suara suara. Suara yang berteriak teriak di kepalamu, membentak dan menghelamu kesana kemari. Lalu kau akan merasa sangat ingin berlari sampai kau kelelahan dan penuh lebam karena tersandung bermacam benda yang tak kau kenali sebab jalannya yang terlalu malam. Temanku cuma burung hantu, karena itu aku juga ingin berjalan jalan keluar sebentar...”
Lihatlah, bukankah kita sudah sangat saling memahami?
Kau selalu datang dengan buku cerita tentang senja dan hujan. Kau lebih banyak diam sementara aku selalu bicara tentang hal hal yang tidak masuk akal. Dan aku akan bertanya tanya, memangnya pada dunia sejauh apa kau tinggal, karena setiap kali kau kutanya kenapa diam, kau selalu menjawab, ”...katakata tercecer di perjalanan...” kubayangkan perjalanan yang sampai menghabiskan katakata seperti itu pasti sangat panjang dan tempatmu pasti sangat jauh. Tapi kau tak pernah terlalu lelah untuk mengajakku melintasi lapangan rumput yang luas, membawaku ke atap gedung tinggi (sekarang kita sudah beberapa meter lebih dekat ke bulan, katamu), kau membawaku menandai jalan jalan yang basah setelah hujan, sekali dua kali menanyakan arah di sebuah kota asing dan kubawa menakung di tepi kali yang memantulkan wajah bulan yang pasi.
Bersamamu adalah buku buku yang terbuka, kata kata menjadi lebih mengada, bulan menjadi lebih kuning, senja seperti semakin ungu, bau rumput menjadi lebih tajam. Kemudian: malam, hujan, sajak, kembang api, kunang kunang, ombak dan angin adalah perjalanan panjang menziarahimu.
Tapi aku selalu tak bisa paham, setiap kali tiba tiba kau menghilang dalam kepekatan yang paling sunyi, dalam kabut yang paling melenyapkan dan paling tidak bisa ditemukan. Sedangkan aku selalu berusaha berdiri di tepian yang tinggi, memastikan kau tetap bisa melihatku, bahkan dari kejauhan sekalipun. Namun kau lebih sering menjadi layang layang yang putus. Meninggalkanku bersama tempolong dan benang yang tersimpul rumit di sana sini. Ketika aku menemukanmu lagi, aku akan bertanya, ”...hatimu tidak pernah bisa menetap bukan?...” dan kau akan menjawab, ”...terlalu banyak ketidakpastian, kau pasti paham...”
Lalu aku hanya akan duduk diam. Menjadi sering memperhatikan langit, mencari layang layang yang sekali lagi (terasa) hilang, kadangkadang sampai larut malam. Dan akupun menunggu bulan jadi keperakan, menandai bintang yang paling terang, atau mencatat bentuk bentuk aneh pada awan, hanya untuk kuceritakan padamu suatu saat nanti, ketika kau mungkin akan datang lagi dari balik kabut itu, ketika aku tidak lagi bertanya tanya, ”...kau di mana menikmati semua ini? Aku sendiri dan sia sia...”
Maka setiap kali kau tak ada, aku percaya saja kau sedang menjelma lubang hitam yang menelan segala apa. Setiap yang kulihat, kegelapan yang sangat itu, atau cahaya yang terlalu itu, mungkin adalah dirimu. Kurasa aku juga sudah habis kau hisap dalam ketaksadaran yang paling panjang.........
Senin, 03 November 2008
Minggu, 21 September 2008
perempuan kaki langit
ia bisu,
seperti waktu
diberati belenggu di kaki,
memaksa melihat kepada langit
menahan payung dari amuk angin barat
demi nyala bulan kembar tiga di tangan kanannya
perempuan pasi dengan senyum sempurna
perempuan masai dengan duka tanpa purna
ia luka,
seperti waktu
: mencintai batu
seperti waktu
diberati belenggu di kaki,
memaksa melihat kepada langit
menahan payung dari amuk angin barat
demi nyala bulan kembar tiga di tangan kanannya
perempuan pasi dengan senyum sempurna
perempuan masai dengan duka tanpa purna
ia luka,
seperti waktu
: mencintai batu
Jumat, 19 September 2008
Kamis, 04 September 2008
padamu
angin minggu pagi ini
menggambar rindu
sewarna kelopak tapak dara
di sepanjang jalan sampai beranda baca-mu
-peta buta yang sulit kupercaya-
310808
menggambar rindu
sewarna kelopak tapak dara
di sepanjang jalan sampai beranda baca-mu
-peta buta yang sulit kupercaya-
310808
Kamis, 07 Agustus 2008
perhentian yang lupa
semestinya
telapak tanganmu lah perhentian itu
rumah bagi sajaksajak yang berlarian
dan bermain di ayunan
tapi rupanya kau cuma ingin menadah hujan
tengadah
dan melupakan tanah
tak ingat kah, pada pesan bintik matahari yang dititipkan di punggung lebah?
musim kering,
selalu menolak dipenggah
telapak tanganmu lah perhentian itu
rumah bagi sajaksajak yang berlarian
dan bermain di ayunan
tapi rupanya kau cuma ingin menadah hujan
tengadah
dan melupakan tanah
tak ingat kah, pada pesan bintik matahari yang dititipkan di punggung lebah?
musim kering,
selalu menolak dipenggah
Selasa, 05 Agustus 2008
bunyi
kata katamu tak terlawan
"aku benar menjaga mu bukan?"
aku mengangguk rawan
memainkan segemerincing anak kunci di tangan kanan
: m e m p e l a j a r i b u n y i k e b o h o n g a n
"aku benar menjaga mu bukan?"
aku mengangguk rawan
memainkan segemerincing anak kunci di tangan kanan
: m e m p e l a j a r i b u n y i k e b o h o n g a n
Senin, 30 Juni 2008
sungai yang berhulu di bulan
aku menemukan sungai yang berhulu di bulan
biar jadi arus untukku melarungkan rindu
karena bayanganmu sudah pecah jadi garis garis biru.
seumpama hari sudah jadi lebih teduh nanti,
aku tahu kau akan pulang lagi
dengan senyum kikuk itu
dan tipis kaca kaca di matamu
meski mungkin kau tak akan menatap lebih lama,
karena ikan ikan berlari
dan anak angsa berenang cepat sekali.
aku menemukan sungai yang berhulu di bulan
dengan sebuah perahu kertas hanyut tenang
menghitung mundur menuju tenggelam
: hatiku
biar jadi arus untukku melarungkan rindu
karena bayanganmu sudah pecah jadi garis garis biru.
seumpama hari sudah jadi lebih teduh nanti,
aku tahu kau akan pulang lagi
dengan senyum kikuk itu
dan tipis kaca kaca di matamu
meski mungkin kau tak akan menatap lebih lama,
karena ikan ikan berlari
dan anak angsa berenang cepat sekali.
aku menemukan sungai yang berhulu di bulan
dengan sebuah perahu kertas hanyut tenang
menghitung mundur menuju tenggelam
: hatiku
Senin, 16 Juni 2008
sajak memotong jalan
mungkin ku halau saja angin
matahariku sudah dingin
takkan sampai padaku bayanganmu sekalipun
setelah kau pecahkan cermin terakhir kemarin
mungkin kucegah saja mimpi mimpi
biar pagi tak menampariku lagi
dan aku bisa tetap jaga meski tanpa bunyibunyi
baik,
mungkin kupotong saja jalan ini
belok ke kiri sambil bernyanyinyanyi
kemudian barangkali
aku akan bisa sedikit berjarak dengan sunyi
matahariku sudah dingin
takkan sampai padaku bayanganmu sekalipun
setelah kau pecahkan cermin terakhir kemarin
mungkin kucegah saja mimpi mimpi
biar pagi tak menampariku lagi
dan aku bisa tetap jaga meski tanpa bunyibunyi
baik,
mungkin kupotong saja jalan ini
belok ke kiri sambil bernyanyinyanyi
kemudian barangkali
aku akan bisa sedikit berjarak dengan sunyi
Rabu, 28 Mei 2008
selewat angin
sudah kukira
tak kan jauh jauh dari sini juga
ku tuliskan cerita yang panjang
dan cuma kau angin anginkan
bersama saputangan
dan sepatu tua
yang tak pernah terlalu ingin kau selamatkan
ketika hari tiba tiba hujan
aku
masih setia melawati senja
dengan menghitung langkah yang dulu selalu menujumu
dan tak pernah sampai kemanamana
cuma selalu menemukanmu
sedang dengan suntuk menutupi buku buku yang terbuka
di halaman yang menanam jejakmu:
daun daun diam diam menguning
cinta cuma selewat angin
tak kan jauh jauh dari sini juga
ku tuliskan cerita yang panjang
dan cuma kau angin anginkan
bersama saputangan
dan sepatu tua
yang tak pernah terlalu ingin kau selamatkan
ketika hari tiba tiba hujan
aku
masih setia melawati senja
dengan menghitung langkah yang dulu selalu menujumu
dan tak pernah sampai kemanamana
cuma selalu menemukanmu
sedang dengan suntuk menutupi buku buku yang terbuka
di halaman yang menanam jejakmu:
daun daun diam diam menguning
cinta cuma selewat angin
Senin, 05 Mei 2008
matahariku padam
matahariku padam
tenggelam di pelupuk matamu yang tibatiba menghujan
kenapa?
mungkin karena kau pulang setelah bertahuntahun
ufuk cakrawala terpejam..
(jawabmu sedih sambil menutup pintu
pelanpelan...)
matahariku padam sempurna
hidupku kemudian seluruhnya adalah malam dan malam saja
biar ku tak kan pernah kembali
demi agar kau tak selalu menangisi pagi
setiap ketika kau buka jendela
dan menemu sisa uap nafasku sebagai embun di kaca
cukup kau tahu
: ada yang setia menunggu
dan selalu tak sampai hati mengetuk pintu
tenggelam di pelupuk matamu yang tibatiba menghujan
kenapa?
mungkin karena kau pulang setelah bertahuntahun
ufuk cakrawala terpejam..
(jawabmu sedih sambil menutup pintu
pelanpelan...)
matahariku padam sempurna
hidupku kemudian seluruhnya adalah malam dan malam saja
biar ku tak kan pernah kembali
demi agar kau tak selalu menangisi pagi
setiap ketika kau buka jendela
dan menemu sisa uap nafasku sebagai embun di kaca
cukup kau tahu
: ada yang setia menunggu
dan selalu tak sampai hati mengetuk pintu
Senin, 28 April 2008
kupukupu di jendela
dan pada suatu ketika
semua kata benarbenar tak terutara
pada sebuah ruang yang tibatiba berwarna senja
: seperti cinta
kupukupu terjebak di jendela
sayap putih
kepak kecil yang keras kepala
rindu ia,
pada matahari dan bungabunga-nya di luar sana
insyaf aku,
ada kuning ungu hijau dan selain merah itu di seberang pintu
pejam engkau,
menenggelamkanku hingga
berkasberkas matahari putus asa
dan tak pernah sampai mencahaya
-kugandeng engkau, kugandeng engkau, cinta-
sayap putih
kepak kecil yang keras kepala
ah, benar kupukupu itu masih terjebak di jendela
(mari cari pintu keluar bersamasama..)
28April2008
semua kata benarbenar tak terutara
pada sebuah ruang yang tibatiba berwarna senja
: seperti cinta
kupukupu terjebak di jendela
sayap putih
kepak kecil yang keras kepala
rindu ia,
pada matahari dan bungabunga-nya di luar sana
insyaf aku,
ada kuning ungu hijau dan selain merah itu di seberang pintu
pejam engkau,
menenggelamkanku hingga
berkasberkas matahari putus asa
dan tak pernah sampai mencahaya
-kugandeng engkau, kugandeng engkau, cinta-
sayap putih
kepak kecil yang keras kepala
ah, benar kupukupu itu masih terjebak di jendela
(mari cari pintu keluar bersamasama..)
28April2008
kau tidak punya bukan?
kau tak punya bukan?
seorang pencerita yang bisa kau curi baca buku catatan rahasianya?
aku punya.
dia yang tak cuma mengisahkan mula asal kunangkunang
tapi juga memelukku ketika demam
kau tak punya bukan?
seorang pencerita yang sedia mengangsurkan teh hangat
setiap sebelum mengajakmu ke dunia di balik cermin?
aku punya.
dia yang paling setia mengirimiku angin beraroma seperti bunga padi
dari kipas bambu bundar yang kami beli di kereta api
ya, aku punya.
sampai suatu musim yang bau dan warnanya aku lupa
kudapati tanganku tertahan di ujung lengan kemejanya,
mau kemana?
pergi ke luar angkasa sebentar, anak manis……
nah,
kau tidak punya bukan?
seorang pencerita yang menjanjikanmu partikel bintang?
aku punya,
sungguh!
ada di sana,
di ratusan tahun cahaya jauhnya……
20042008
seorang pencerita yang bisa kau curi baca buku catatan rahasianya?
aku punya.
dia yang tak cuma mengisahkan mula asal kunangkunang
tapi juga memelukku ketika demam
kau tak punya bukan?
seorang pencerita yang sedia mengangsurkan teh hangat
setiap sebelum mengajakmu ke dunia di balik cermin?
aku punya.
dia yang paling setia mengirimiku angin beraroma seperti bunga padi
dari kipas bambu bundar yang kami beli di kereta api
ya, aku punya.
sampai suatu musim yang bau dan warnanya aku lupa
kudapati tanganku tertahan di ujung lengan kemejanya,
mau kemana?
pergi ke luar angkasa sebentar, anak manis……
nah,
kau tidak punya bukan?
seorang pencerita yang menjanjikanmu partikel bintang?
aku punya,
sungguh!
ada di sana,
di ratusan tahun cahaya jauhnya……
20042008
Kamis, 17 April 2008
perempuan dan luka
pada sebuah beranda yang lama tidak disapu
aku menemukanmu
mengabur
mengelabu
: perempuan dan luka
kau sekering kemarau
tapi menjelma hari paling siang dengan langit bersih dan matahari di antara waktuku yang seperti seluruhnya malam
diammu melulu sunyi yang terlalu
bagiku adalah hening menenangkan di tengah segala hirukpikuk
gerakmu kelelahan tak sudahsudah
di mataku jadi isyarat istirahat yang mudah
kau adalah luka yang berjalan
dan sunyi yang bernapas
dan perempuan tanpa letak
wahai...
tanganku menggoresmu
tak boleh menyentuh
tak kepingin meremukkanmu.........
aku menemukanmu
mengabur
mengelabu
: perempuan dan luka
kau sekering kemarau
tapi menjelma hari paling siang dengan langit bersih dan matahari di antara waktuku yang seperti seluruhnya malam
diammu melulu sunyi yang terlalu
bagiku adalah hening menenangkan di tengah segala hirukpikuk
gerakmu kelelahan tak sudahsudah
di mataku jadi isyarat istirahat yang mudah
kau adalah luka yang berjalan
dan sunyi yang bernapas
dan perempuan tanpa letak
wahai...
tanganku menggoresmu
tak boleh menyentuh
tak kepingin meremukkanmu.........
Senin, 14 April 2008
seperti aku mencintaimu
seperti aku mencintaimu
purnama merahasiakan bintang
noktah kecil yang setia menunjukkan arah utara
purnama merahasiakan bintang
noktah kecil yang setia menunjukkan arah utara
Senin, 31 Maret 2008
perempuan kena hujan
musim pacet kesepuluh
kau masih berdiri berpayung dengan almanak cacat di tangan
menunggu perempuan kena hujan membawakan rumput teki
dan guguran bunga akasia yang menguningkan jalan jalan
ada yang menumpahkan jejak hujan dari pepohonan di atasmu
: itukah kau,
menyamar sebagai angin lagi, sayang?
kau masih berdiri berpayung dengan almanak cacat di tangan
menunggu perempuan kena hujan membawakan rumput teki
dan guguran bunga akasia yang menguningkan jalan jalan
ada yang menumpahkan jejak hujan dari pepohonan di atasmu
: itukah kau,
menyamar sebagai angin lagi, sayang?
Sabtu, 29 Maret 2008
bulan pulang
aku dan hujan
malam ini
bersamasama
telah mencuri bulan dan menaruhnya di meja ruang depan
yang paling remang
supaya dia mengerti
kebisuannya tidaklah seberapa sunyi
malam ini
bersamasama
telah mencuri bulan dan menaruhnya di meja ruang depan
yang paling remang
supaya dia mengerti
kebisuannya tidaklah seberapa sunyi
Senin, 25 Februari 2008
Sabtu, 23 Februari 2008
lakon luka
sudah terlampau paregreg
ketika kau mungkur dengan parang bermata bisu tersengkelit di pinggang
sepanjang kurusetra adalah sunyi yang memekik-mekik
seketika ombak mati
angin laut memilih pergi menyurung punggungmu yang sepi
kami cuma mengenalimu sebagai lindu tanpa titi mangsa
mangkat dengan warna merah pada sebuah sandikala yang lamur oleh halimun
pulanglah hanya jika mata kami telah benar-benar rabun
sebab cuma dalam keremangan kami mampu
menarikan lakon matikarenarindu
220208
Senin, 18 Februari 2008
JIKA ia DATANG BERSAMA INGATAN TENTANGMU
pagi lolos melalui sebuah genting kaca
mimpi lindap
hatiku gerimis
selalu ada yang pecah bersama embun pertama yang jatuh ke tanah
dan bukankah jalan ke lembah sudah lama berubah..?
mimpi lindap
hatiku gerimis
selalu ada yang pecah bersama embun pertama yang jatuh ke tanah
dan bukankah jalan ke lembah sudah lama berubah..?
Kamis, 07 Februari 2008
geragap ujung senja
senja surut,
biar kusulut pelita kecil meski entah apakah masih nafasmu yang hinggap kemudian jatuh berlepasan bersama sayap laron terakhir musim ini karena aku masih angin sasar,
mati di pucuk daun.
biar kusulut pelita kecil meski entah apakah masih nafasmu yang hinggap kemudian jatuh berlepasan bersama sayap laron terakhir musim ini karena aku masih angin sasar,
mati di pucuk daun.
Rabu, 06 Februari 2008
pada yang kurindu
seorang laki laki lahir bersama bunga pada sebuah pendhapa
aku mengunduh senyum wangi yang menguar di antara bahasa tembus cahaya
kelopak bermekaran pada musim semi yang menghangat di telapak tangannya
butir butir benang sari memenuhi udara
beberapa musim demikian, dan ia pun pergilah
seorang laki laki datang bersama pasir
musim semi-nya kini terbungkus debu
aku mengajaknya bermain hujan
beberapa kali hujan yang merdu, kemudian ia pamit mencari perdu
seorang laki laki datang membawa kerikil kerikil tajam
beberapa dititipkannya padaku
"aku ingin pulang"
ucapnya
maka kubawa ia pada pendhapa kelahirannya
tinggal lantai diretakpecahkan akar alang alang
..............................................................................
ada abu yang memerihkan dihantarkan angin pada matamu
..............................................................................
seorang laki laki pergi membawa batu di hatinya
ia tak pernah pulang.
aku mengunduh senyum wangi yang menguar di antara bahasa tembus cahaya
kelopak bermekaran pada musim semi yang menghangat di telapak tangannya
butir butir benang sari memenuhi udara
beberapa musim demikian, dan ia pun pergilah
seorang laki laki datang bersama pasir
musim semi-nya kini terbungkus debu
aku mengajaknya bermain hujan
beberapa kali hujan yang merdu, kemudian ia pamit mencari perdu
seorang laki laki datang membawa kerikil kerikil tajam
beberapa dititipkannya padaku
"aku ingin pulang"
ucapnya
maka kubawa ia pada pendhapa kelahirannya
tinggal lantai diretakpecahkan akar alang alang
..............................................................................
ada abu yang memerihkan dihantarkan angin pada matamu
..............................................................................
seorang laki laki pergi membawa batu di hatinya
ia tak pernah pulang.
Langganan:
Postingan (Atom)