Jumat, 21 November 2008

di teritis rumah kulihat kau bercerita sambil menari

pada mulanya mungkin kami adalah kertaskertas kosong yang tenang lalu tangan tuhan yang sedang kesal mencoretcoret kami dan mencampakkan kami - bolabola kertas kumal- ke bumi , beberapa dari kami mungkin disandiwarakan dalam salah satu kelahiran di rumah kalian.

kami cuma kenal rasa jelaga, hitam dan ampang.
kami bernapas dengan zat asam arang, karena kami cuma berteman pepohonan di waktu malam. kami tahu mata angin tapi kami selalu tersesat dan berjalan serong, menyamping-menyimpang.

perhatikan rumput-rumput di pelataran kalian, pernahkah kau berpikir bahwa mereka ada untuk mengejek kami? betapa mereka selalu tumbuh lagi setiap setelah kau pangkas, mencibiri kami yang tidak pernah benarbenar tumbuh, dan apalagi sampai menjadi bernas.

kami memimpikan lubang cacing setiap malam, perjalananperjalanan memusingkan yang tak pernah berhenti bahkan ketika kami tak tidur.

mata kami cekung, penuh lingkaran hitam
bibir kami biru, menuju hitam
kami : anakanak milik lubang hitam

buang,
buanglah kami..
biar kesunyian yang marah memulung kami
dan kami akan dilahirkan kembali
menari di teritis rumah kalian
persis!
seperti ini

7 komentar:

Anonim mengatakan...

membaca puisimu el, tersampir ingatan bait chairil,

kenang
kenanglah kami..

Anonim mengatakan...

@ omah seta :

loh, iya ya ...?
*nggak sadar*

Unknown mengatakan...

ketika dilahirkan kembali el, kenapa mesti mengulang mimpi?
bahkan sunyi pun tak ingin terlahir menjadi sunyi
yang menalanmu perlahan, juga diam-diam

aku mendoakanmu semoga kau kelak terlahir kembali menjadi puisi

Anonim mengatakan...

@ doa di putik kamboja :


"ketika dilahirkan kembali, kenapa mesti mengulang mimpi? bahkan sunyi pun tak ingin terlahir menjadi sunyi." (katamu)

nah.... bukankah itu artinya tidak bisa memilih ?

salam kenal, doa di putik kamboja (duh, namamu panjang sekali ya?)

Unknown mengatakan...

kadang juga tak ada yang mesti dipilih. setiap lahir lagi pasti juga lahir mimpi-mimpi yang lain juga berbeda.
tapi pilihan tetap ada.

seperti namaku ini panjang juga pilihan. he2x...(yang pendek-pendek dah banyak yang make, setengah kepaksa kali y)

Haris Firdaus mengatakan...

ini soal pertengkaran dg orang tua ya? he2. kertas-kertas kosong yang dicoret-coret Tuhan lalu dibuang? hmmm boleh juga tuh metaforanya, el:)

Anonim mengatakan...

@ doa di putik kamboja :

semakin sedikit pilihan, tidak selalu berarti lebih mudah kan, tapi ? :)

@haris :

ini soal -terserah kau mengartikannya- haris, :) ah, masih kurang metaforis, halah.. hehe