Jumat, 12 Desember 2008

pantry 502

kotak gula pasir di samping wajahku.

jauh di bawah jendela kaca
kota kita mulai kembali menjadi nota
mobil dan orang memutari jalan
enggan dan lamban

masih,
kucetak wajahmu di muka stempel setiap pagi
kubawa menandai satupersatu
mimpi yang kutunailunaskan lalu kumasukkan ke saku baju

kotak gula pasir di samping wajahku
kusimpan,
untuk mungkin -kelak entah kapan-
kau minta menemani kopi pahitmu

Jumat, 21 November 2008

di teritis rumah kulihat kau bercerita sambil menari

pada mulanya mungkin kami adalah kertaskertas kosong yang tenang lalu tangan tuhan yang sedang kesal mencoretcoret kami dan mencampakkan kami - bolabola kertas kumal- ke bumi , beberapa dari kami mungkin disandiwarakan dalam salah satu kelahiran di rumah kalian.

kami cuma kenal rasa jelaga, hitam dan ampang.
kami bernapas dengan zat asam arang, karena kami cuma berteman pepohonan di waktu malam. kami tahu mata angin tapi kami selalu tersesat dan berjalan serong, menyamping-menyimpang.

perhatikan rumput-rumput di pelataran kalian, pernahkah kau berpikir bahwa mereka ada untuk mengejek kami? betapa mereka selalu tumbuh lagi setiap setelah kau pangkas, mencibiri kami yang tidak pernah benarbenar tumbuh, dan apalagi sampai menjadi bernas.

kami memimpikan lubang cacing setiap malam, perjalananperjalanan memusingkan yang tak pernah berhenti bahkan ketika kami tak tidur.

mata kami cekung, penuh lingkaran hitam
bibir kami biru, menuju hitam
kami : anakanak milik lubang hitam

buang,
buanglah kami..
biar kesunyian yang marah memulung kami
dan kami akan dilahirkan kembali
menari di teritis rumah kalian
persis!
seperti ini

pasang laut ketigapuluhtujuh

ombak sedang tinggi
betapa kau pilih musim yang tepat untuk pergi
meninggalkanku dalam lapak
sempit dan apak

badanku dibujukbujuk maut
tepat benar kau pilih waktu untuk bersikeras melaut

mungkin butirbutir pasir yang menelusup dari tingkap angin
terhirup dan tinggal di paruparuku
darinya kudengar kau takkan kembali
kabar yang didesaukannya berulang di tiap sepenarikan nafasku

laut pasang penuh
tapi besok takkan kukumpulkan lokanlokan yang tertinggal di pantai
sebab kau takkan pulang bukan?
dan aku pun tak akan tinggal
sudah kubiarkan hatiku habis
dihisap balingbaling perahumu

Selasa, 18 November 2008

kau dan lampu merah

aku mencintamu seperti mencinta
lampu
merah

mata sewarna luka yang paling setia
memintaku
istirah

ode

sengaja kau jatuhkan lagi kunci di jalan, bukan ?
biar bisa tak pulang
biar bisa bermain-main di serba lima ribu
sembunyi di sisi rak tempat boneka hiu yang matanya hilang satu

kau masih jadi pembeli yang memburu bau ibumu
dan aku pramuniaga yang membantumu
menemukannya di tumpukan kapur barus stok tahun lalu

sendu.

Rabu, 12 November 2008

re-post

…tentang matahari yang kehilangan bumi
semata kepercumaan yang tak pernah pagi
kutemukan wajahku letih dan sunyi
sementara bulan muda merayakan terang untuknya sendiri kini
melangit sampai tak terinjak debu dan dongeng tentang peri gigi
aku adalah quasar yang hampir memilih menjadi bintang mati
sewaktu kau datang
”perkenalkan, namaku lubang hitam. Untuk siapa kau membiarkan dirimu terbakar habis sementara padaku ada gravitasi yang sepenuhnya adalahbenderang paling siang?”
putus asa aku menuju padamu
hanya untuk menjadi buta oleh cahaya
kenapa dulu tak kau biarkan saja aku menjadi nebula...?


Malam pingsan. Apa yang kudapatkan kali ini? Keinginan untuk menulisi langit dengan cerita tentang anak anak yang baru tumbuh gigi? Tentang burung burung hantu yang tak pernah bisa kutemukan rumahnya? Tentang musim hujan yang terlalu sebentar? Tentang sungai sungai yang menjadi selokan? Tentang buku buku yang hilang? Tentang apa saja. Karena langit cuma jelaga malam ini, tidak mendung, tidak berawan, tidak ada bulan, tidak ada bintang, tidak ada suar di kejauhan, tidak ada seleret lampu pesawat, tidak ada kelelawar. Sepi. Mungkinkah kau di sana lubang hitam? Sedang menelan galaksi dan bintang bintang sampai langit jadi kosong dan tidak menyisakan apa apa untuk kutulis malam ini? Tapi kau memang selalu menelan apapun di sekelilingku, cuma selalu menyisakan dirimu, di penglihatanku, di raba-dengarku.

Lubang hitam itu, kau tahu, adalah seseorang. Seseorang yang seperti begitu saja muncul dari balik kabut. Begitu saja aku membaca sebuah nama di selebaran, begitu saja aku menyimpan nama itu di salah satu sudut ingatan yang paling jarang digunakan, kemudian begitu saja berjabat tangan dengan pemilik nama itu pada malam harinya. Yah, begitu saja.. Ketika kudapati aku seperti beredar mengelilingi sebuah pusat baru, sesuatu yang bernama dirimu.

Berada di dekatmu,waktu jadi seperti air terjun, mengalir cepat sebagai arus deras yang menelan segala. Dan aku selalu saja merupa perempuan karam pada jeram dan lubuk lubuk dalam yang berhulu di matamu. Tidak pernah kutanyakan siapa dirimu, pun tidak pernah kau tanyakan siapa diriku. Kau tetap hidup dalam kepekatan kabut yang tak kupahami, sedangkan aku selalu berdiri di luarnya, mencoba mengintip duniamu selagi menyambutmu datang atau melepasmu pulang. Tapi mataku tetap tidak bisa menembus keremangan yang mengikutimu kemanapun.

Kau pernah bilang, ”...aku cuma bisa membawamu ke tepi tepi saja. Jauh di balik kabut itu, ada sebuah dunia tanpa suara, di mana setiap orang melihat kesedihan sebagai dua kali lebih menyedihkan, dan melihat kesenangan hanyalah pertanda akan datangnya kesedihan yang lain. Jalan jalannya begitu sunyi, karena semua orang sibuk menulisi lontar-lontar dalam diam dengan cerita-cerita dari negeri yang jauh, kemudian melemparkan lontar-lontar itu ke perapian. Belakangan perapian itu semakin besar dan apinya membuatku gerah, karena itu aku berjalan jalan keluar sebentar...”

Lalu aku menjawabmu, ”...aku juga cuma bisa membawamu ke tepi tepi saja. Jalan jalan di tempatku sangat gelap, kau akan lebih sering merasa buta, lebih sering diarahkan oleh suara suara. Suara yang berteriak teriak di kepalamu, membentak dan menghelamu kesana kemari. Lalu kau akan merasa sangat ingin berlari sampai kau kelelahan dan penuh lebam karena tersandung bermacam benda yang tak kau kenali sebab jalannya yang terlalu malam. Temanku cuma burung hantu, karena itu aku juga ingin berjalan jalan keluar sebentar...”

Lihatlah, bukankah kita sudah sangat saling memahami?

Kau selalu datang dengan buku cerita tentang senja dan hujan. Kau lebih banyak diam sementara aku selalu bicara tentang hal hal yang tidak masuk akal. Dan aku akan bertanya tanya, memangnya pada dunia sejauh apa kau tinggal, karena setiap kali kau kutanya kenapa diam, kau selalu menjawab, ”...katakata tercecer di perjalanan...” kubayangkan perjalanan yang sampai menghabiskan katakata seperti itu pasti sangat panjang dan tempatmu pasti sangat jauh. Tapi kau tak pernah terlalu lelah untuk mengajakku melintasi lapangan rumput yang luas, membawaku ke atap gedung tinggi (sekarang kita sudah beberapa meter lebih dekat ke bulan, katamu), kau membawaku menandai jalan jalan yang basah setelah hujan, sekali dua kali menanyakan arah di sebuah kota asing dan kubawa menakung di tepi kali yang memantulkan wajah bulan yang pasi.

Bersamamu adalah buku buku yang terbuka, kata kata menjadi lebih mengada, bulan menjadi lebih kuning, senja seperti semakin ungu, bau rumput menjadi lebih tajam. Kemudian: malam, hujan, sajak, kembang api, kunang kunang, ombak dan angin adalah perjalanan panjang menziarahimu.

Tapi aku selalu tak bisa paham, setiap kali tiba tiba kau menghilang dalam kepekatan yang paling sunyi, dalam kabut yang paling melenyapkan dan paling tidak bisa ditemukan. Sedangkan aku selalu berusaha berdiri di tepian yang tinggi, memastikan kau tetap bisa melihatku, bahkan dari kejauhan sekalipun. Namun kau lebih sering menjadi layang layang yang putus. Meninggalkanku bersama tempolong dan benang yang tersimpul rumit di sana sini. Ketika aku menemukanmu lagi, aku akan bertanya, ”...hatimu tidak pernah bisa menetap bukan?...” dan kau akan menjawab, ”...terlalu banyak ketidakpastian, kau pasti paham...”

Lalu aku hanya akan duduk diam. Menjadi sering memperhatikan langit, mencari layang layang yang sekali lagi (terasa) hilang, kadangkadang sampai larut malam. Dan akupun menunggu bulan jadi keperakan, menandai bintang yang paling terang, atau mencatat bentuk bentuk aneh pada awan, hanya untuk kuceritakan padamu suatu saat nanti, ketika kau mungkin akan datang lagi dari balik kabut itu, ketika aku tidak lagi bertanya tanya, ”...kau di mana menikmati semua ini? Aku sendiri dan sia sia...”

Maka setiap kali kau tak ada, aku percaya saja kau sedang menjelma lubang hitam yang menelan segala apa. Setiap yang kulihat, kegelapan yang sangat itu, atau cahaya yang terlalu itu, mungkin adalah dirimu. Kurasa aku juga sudah habis kau hisap dalam ketaksadaran yang paling panjang.........

Senin, 03 November 2008

di pasar malam

di pasar malam,

terkemas
bersama gulagula kapas
manis dan lumer
di mulutku

: kau

Minggu, 21 September 2008

perempuan kaki langit

ia bisu,
seperti waktu

diberati belenggu di kaki,
memaksa melihat kepada langit
menahan payung dari amuk angin barat
demi nyala bulan kembar tiga di tangan kanannya

perempuan pasi dengan senyum sempurna
perempuan masai dengan duka tanpa purna

ia luka,
seperti waktu

: mencintai batu

Jumat, 19 September 2008

sampan

mengapa
kau
buang
kayuh
kita
ke
laut ?

Kamis, 04 September 2008

padamu

angin minggu pagi ini
menggambar rindu
sewarna kelopak tapak dara
di sepanjang jalan sampai beranda baca-mu

-peta buta yang sulit kupercaya-


310808


Kamis, 07 Agustus 2008

perhentian yang lupa

semestinya

telapak tanganmu lah perhentian itu

rumah bagi sajaksajak yang berlarian
dan bermain di ayunan

tapi rupanya kau cuma ingin menadah hujan

tengadah
dan melupakan tanah

tak ingat kah, pada pesan bintik matahari yang dititipkan di punggung lebah?

musim kering,
selalu menolak dipenggah

Selasa, 05 Agustus 2008

bunyi

kata katamu tak terlawan

"aku benar menjaga mu bukan?"

aku mengangguk rawan
memainkan segemerincing anak kunci di tangan kanan

: m e m p e l a j a r i b u n y i k e b o h o n g a n

tanpa suara

sebab kau mata lentera

aku menabuh malam
dengan tanpa perlu

suara

Senin, 30 Juni 2008

sungai yang berhulu di bulan

aku menemukan sungai yang berhulu di bulan

biar jadi arus untukku melarungkan rindu
karena bayanganmu sudah pecah jadi garis garis biru.

seumpama hari sudah jadi lebih teduh nanti,
aku tahu kau akan pulang lagi
dengan senyum kikuk itu
dan tipis kaca kaca di matamu
meski mungkin kau tak akan menatap lebih lama,
karena ikan ikan berlari
dan anak angsa berenang cepat sekali.


aku menemukan sungai yang berhulu di bulan

dengan sebuah perahu kertas hanyut tenang
menghitung mundur menuju tenggelam

: hatiku

Senin, 16 Juni 2008

sajak memotong jalan

mungkin ku halau saja angin
matahariku sudah dingin
takkan sampai padaku bayanganmu sekalipun
setelah kau pecahkan cermin terakhir kemarin

mungkin kucegah saja mimpi mimpi
biar pagi tak menampariku lagi
dan aku bisa tetap jaga meski tanpa bunyibunyi

baik,
mungkin kupotong saja jalan ini
belok ke kiri sambil bernyanyinyanyi
kemudian barangkali

aku akan bisa sedikit berjarak dengan sunyi

Rabu, 28 Mei 2008

selewat angin

sudah kukira
tak kan jauh jauh dari sini juga

ku tuliskan cerita yang panjang
dan cuma kau angin anginkan
bersama saputangan
dan sepatu tua
yang tak pernah terlalu ingin kau selamatkan
ketika hari tiba tiba hujan

aku
masih setia melawati senja
dengan menghitung langkah yang dulu selalu menujumu
dan tak pernah sampai kemanamana
cuma selalu menemukanmu
sedang dengan suntuk menutupi buku buku yang terbuka

di halaman yang menanam jejakmu:
daun daun diam diam menguning

cinta cuma selewat angin

Senin, 05 Mei 2008

matahariku padam

matahariku padam
tenggelam di pelupuk matamu yang tibatiba menghujan

kenapa?

mungkin karena kau pulang setelah bertahuntahun
ufuk cakrawala terpejam..

(jawabmu sedih sambil menutup pintu
pelanpelan...)

matahariku padam sempurna
hidupku kemudian seluruhnya adalah malam dan malam saja

biar ku tak kan pernah kembali
demi agar kau tak selalu menangisi pagi

setiap ketika kau buka jendela
dan menemu sisa uap nafasku sebagai embun di kaca
cukup kau tahu

: ada yang setia menunggu
dan selalu tak sampai hati mengetuk pintu

Senin, 28 April 2008

kupukupu di jendela

dan pada suatu ketika
semua kata benarbenar tak terutara
pada sebuah ruang yang tibatiba berwarna senja
: seperti cinta

kupukupu terjebak di jendela

sayap putih
kepak kecil yang keras kepala

rindu ia,
pada matahari dan bungabunga-nya di luar sana

insyaf aku,
ada kuning ungu hijau dan selain merah itu di seberang pintu

pejam engkau,
menenggelamkanku hingga
berkasberkas matahari putus asa
dan tak pernah sampai mencahaya

-kugandeng engkau, kugandeng engkau, cinta-

sayap putih
kepak kecil yang keras kepala

ah, benar kupukupu itu masih terjebak di jendela
(mari cari pintu keluar bersamasama..)


28April2008

kau tidak punya bukan?

kau tak punya bukan?
seorang pencerita yang bisa kau curi baca buku catatan rahasianya?
aku punya.
dia yang tak cuma mengisahkan mula asal kunangkunang
tapi juga memelukku ketika demam

kau tak punya bukan?
seorang pencerita yang sedia mengangsurkan teh hangat
setiap sebelum mengajakmu ke dunia di balik cermin?
aku punya.
dia yang paling setia mengirimiku angin beraroma seperti bunga padi
dari kipas bambu bundar yang kami beli di kereta api

ya, aku punya.

sampai suatu musim yang bau dan warnanya aku lupa
kudapati tanganku tertahan di ujung lengan kemejanya,
mau kemana?

pergi ke luar angkasa sebentar, anak manis……

nah,
kau tidak punya bukan?
seorang pencerita yang menjanjikanmu partikel bintang?
aku punya,
sungguh!
ada di sana,

di ratusan tahun cahaya jauhnya……


20042008

Kamis, 17 April 2008

perempuan dan luka

pada sebuah beranda yang lama tidak disapu
aku menemukanmu
mengabur
mengelabu

: perempuan dan luka

kau sekering kemarau
tapi menjelma hari paling siang dengan langit bersih dan matahari di antara waktuku yang seperti seluruhnya malam
diammu melulu sunyi yang terlalu
bagiku adalah hening menenangkan di tengah segala hirukpikuk
gerakmu kelelahan tak sudahsudah
di mataku jadi isyarat istirahat yang mudah

kau adalah luka yang berjalan
dan sunyi yang bernapas
dan perempuan tanpa letak
wahai...

tanganku menggoresmu
tak boleh menyentuh
tak kepingin meremukkanmu.........

Senin, 14 April 2008

seperti aku mencintaimu

seperti aku mencintaimu


purnama merahasiakan bintang
noktah kecil yang setia menunjukkan arah utara

Senin, 31 Maret 2008

perempuan kena hujan

musim pacet kesepuluh

kau masih berdiri berpayung dengan almanak cacat di tangan
menunggu perempuan kena hujan membawakan rumput teki
dan guguran bunga akasia yang menguningkan jalan jalan

ada yang menumpahkan jejak hujan dari pepohonan di atasmu

: itukah kau,
menyamar sebagai angin lagi, sayang?

Sabtu, 29 Maret 2008

bulan pulang

aku dan hujan
malam ini
bersamasama
telah mencuri bulan dan menaruhnya di meja ruang depan
yang paling remang
supaya dia mengerti
kebisuannya tidaklah seberapa sunyi

Senin, 25 Februari 2008

isyarat (cinta)

angin laut terakhir

kubersihkan tanganmu dari sisa pasir

Sabtu, 23 Februari 2008

lakon luka

sudah terlampau paregreg

ketika kau mungkur dengan parang bermata bisu tersengkelit di pinggang

sepanjang kurusetra adalah sunyi yang memekik-mekik

seketika ombak mati

angin laut memilih pergi menyurung punggungmu yang sepi

kami cuma mengenalimu sebagai lindu tanpa titi mangsa

mangkat dengan warna merah pada sebuah sandikala yang lamur oleh halimun

pulanglah hanya jika mata kami telah benar-benar rabun

sebab cuma dalam keremangan kami mampu

menarikan lakon matikarenarindu

220208

Senin, 18 Februari 2008

JIKA ia DATANG BERSAMA INGATAN TENTANGMU

pagi lolos melalui sebuah genting kaca
mimpi lindap
hatiku gerimis
selalu ada yang pecah bersama embun pertama yang jatuh ke tanah

dan bukankah jalan ke lembah sudah lama berubah..?

Kamis, 07 Februari 2008

geragap ujung senja

senja surut,

biar kusulut pelita kecil meski entah apakah masih nafasmu yang hinggap kemudian jatuh berlepasan bersama sayap laron terakhir musim ini karena aku masih angin sasar,

mati di pucuk daun.

Rabu, 06 Februari 2008

pada yang kurindu

seorang laki laki lahir bersama bunga pada sebuah pendhapa
aku mengunduh senyum wangi yang menguar di antara bahasa tembus cahaya
kelopak bermekaran pada musim semi yang menghangat di telapak tangannya
butir butir benang sari memenuhi udara

beberapa musim demikian, dan ia pun pergilah

seorang laki laki datang bersama pasir
musim semi-nya kini terbungkus debu
aku mengajaknya bermain hujan

beberapa kali hujan yang merdu, kemudian ia pamit mencari perdu

seorang laki laki datang membawa kerikil kerikil tajam
beberapa dititipkannya padaku

"aku ingin pulang"
ucapnya

maka kubawa ia pada pendhapa kelahirannya
tinggal lantai diretakpecahkan akar alang alang

..............................................................................
ada abu yang memerihkan dihantarkan angin pada matamu
..............................................................................

seorang laki laki pergi membawa batu di hatinya

ia tak pernah pulang.