Rabu, 12 November 2008

re-post

…tentang matahari yang kehilangan bumi
semata kepercumaan yang tak pernah pagi
kutemukan wajahku letih dan sunyi
sementara bulan muda merayakan terang untuknya sendiri kini
melangit sampai tak terinjak debu dan dongeng tentang peri gigi
aku adalah quasar yang hampir memilih menjadi bintang mati
sewaktu kau datang
”perkenalkan, namaku lubang hitam. Untuk siapa kau membiarkan dirimu terbakar habis sementara padaku ada gravitasi yang sepenuhnya adalahbenderang paling siang?”
putus asa aku menuju padamu
hanya untuk menjadi buta oleh cahaya
kenapa dulu tak kau biarkan saja aku menjadi nebula...?


Malam pingsan. Apa yang kudapatkan kali ini? Keinginan untuk menulisi langit dengan cerita tentang anak anak yang baru tumbuh gigi? Tentang burung burung hantu yang tak pernah bisa kutemukan rumahnya? Tentang musim hujan yang terlalu sebentar? Tentang sungai sungai yang menjadi selokan? Tentang buku buku yang hilang? Tentang apa saja. Karena langit cuma jelaga malam ini, tidak mendung, tidak berawan, tidak ada bulan, tidak ada bintang, tidak ada suar di kejauhan, tidak ada seleret lampu pesawat, tidak ada kelelawar. Sepi. Mungkinkah kau di sana lubang hitam? Sedang menelan galaksi dan bintang bintang sampai langit jadi kosong dan tidak menyisakan apa apa untuk kutulis malam ini? Tapi kau memang selalu menelan apapun di sekelilingku, cuma selalu menyisakan dirimu, di penglihatanku, di raba-dengarku.

Lubang hitam itu, kau tahu, adalah seseorang. Seseorang yang seperti begitu saja muncul dari balik kabut. Begitu saja aku membaca sebuah nama di selebaran, begitu saja aku menyimpan nama itu di salah satu sudut ingatan yang paling jarang digunakan, kemudian begitu saja berjabat tangan dengan pemilik nama itu pada malam harinya. Yah, begitu saja.. Ketika kudapati aku seperti beredar mengelilingi sebuah pusat baru, sesuatu yang bernama dirimu.

Berada di dekatmu,waktu jadi seperti air terjun, mengalir cepat sebagai arus deras yang menelan segala. Dan aku selalu saja merupa perempuan karam pada jeram dan lubuk lubuk dalam yang berhulu di matamu. Tidak pernah kutanyakan siapa dirimu, pun tidak pernah kau tanyakan siapa diriku. Kau tetap hidup dalam kepekatan kabut yang tak kupahami, sedangkan aku selalu berdiri di luarnya, mencoba mengintip duniamu selagi menyambutmu datang atau melepasmu pulang. Tapi mataku tetap tidak bisa menembus keremangan yang mengikutimu kemanapun.

Kau pernah bilang, ”...aku cuma bisa membawamu ke tepi tepi saja. Jauh di balik kabut itu, ada sebuah dunia tanpa suara, di mana setiap orang melihat kesedihan sebagai dua kali lebih menyedihkan, dan melihat kesenangan hanyalah pertanda akan datangnya kesedihan yang lain. Jalan jalannya begitu sunyi, karena semua orang sibuk menulisi lontar-lontar dalam diam dengan cerita-cerita dari negeri yang jauh, kemudian melemparkan lontar-lontar itu ke perapian. Belakangan perapian itu semakin besar dan apinya membuatku gerah, karena itu aku berjalan jalan keluar sebentar...”

Lalu aku menjawabmu, ”...aku juga cuma bisa membawamu ke tepi tepi saja. Jalan jalan di tempatku sangat gelap, kau akan lebih sering merasa buta, lebih sering diarahkan oleh suara suara. Suara yang berteriak teriak di kepalamu, membentak dan menghelamu kesana kemari. Lalu kau akan merasa sangat ingin berlari sampai kau kelelahan dan penuh lebam karena tersandung bermacam benda yang tak kau kenali sebab jalannya yang terlalu malam. Temanku cuma burung hantu, karena itu aku juga ingin berjalan jalan keluar sebentar...”

Lihatlah, bukankah kita sudah sangat saling memahami?

Kau selalu datang dengan buku cerita tentang senja dan hujan. Kau lebih banyak diam sementara aku selalu bicara tentang hal hal yang tidak masuk akal. Dan aku akan bertanya tanya, memangnya pada dunia sejauh apa kau tinggal, karena setiap kali kau kutanya kenapa diam, kau selalu menjawab, ”...katakata tercecer di perjalanan...” kubayangkan perjalanan yang sampai menghabiskan katakata seperti itu pasti sangat panjang dan tempatmu pasti sangat jauh. Tapi kau tak pernah terlalu lelah untuk mengajakku melintasi lapangan rumput yang luas, membawaku ke atap gedung tinggi (sekarang kita sudah beberapa meter lebih dekat ke bulan, katamu), kau membawaku menandai jalan jalan yang basah setelah hujan, sekali dua kali menanyakan arah di sebuah kota asing dan kubawa menakung di tepi kali yang memantulkan wajah bulan yang pasi.

Bersamamu adalah buku buku yang terbuka, kata kata menjadi lebih mengada, bulan menjadi lebih kuning, senja seperti semakin ungu, bau rumput menjadi lebih tajam. Kemudian: malam, hujan, sajak, kembang api, kunang kunang, ombak dan angin adalah perjalanan panjang menziarahimu.

Tapi aku selalu tak bisa paham, setiap kali tiba tiba kau menghilang dalam kepekatan yang paling sunyi, dalam kabut yang paling melenyapkan dan paling tidak bisa ditemukan. Sedangkan aku selalu berusaha berdiri di tepian yang tinggi, memastikan kau tetap bisa melihatku, bahkan dari kejauhan sekalipun. Namun kau lebih sering menjadi layang layang yang putus. Meninggalkanku bersama tempolong dan benang yang tersimpul rumit di sana sini. Ketika aku menemukanmu lagi, aku akan bertanya, ”...hatimu tidak pernah bisa menetap bukan?...” dan kau akan menjawab, ”...terlalu banyak ketidakpastian, kau pasti paham...”

Lalu aku hanya akan duduk diam. Menjadi sering memperhatikan langit, mencari layang layang yang sekali lagi (terasa) hilang, kadangkadang sampai larut malam. Dan akupun menunggu bulan jadi keperakan, menandai bintang yang paling terang, atau mencatat bentuk bentuk aneh pada awan, hanya untuk kuceritakan padamu suatu saat nanti, ketika kau mungkin akan datang lagi dari balik kabut itu, ketika aku tidak lagi bertanya tanya, ”...kau di mana menikmati semua ini? Aku sendiri dan sia sia...”

Maka setiap kali kau tak ada, aku percaya saja kau sedang menjelma lubang hitam yang menelan segala apa. Setiap yang kulihat, kegelapan yang sangat itu, atau cahaya yang terlalu itu, mungkin adalah dirimu. Kurasa aku juga sudah habis kau hisap dalam ketaksadaran yang paling panjang.........

13 komentar:

Nanang Musha mengatakan...

*speechless*

Anonim mengatakan...

@ nanang musha :

di mana, kenapa, apanya yang membuat *speechless*, nang ?
tidak layak dikoment maksudnya? huehue..

Anonim mengatakan...

wuah... stamina yang luar biasa...
gimana caranya fitness kata-kata biar bisa seperti itu?

negeri hujan mengatakan...

assalamu'laikum Wr.Wb

Entah sebagai apa aku sampai membikin lubang dan ruang sunyi disini. mungkin sebagai pencuri, pengamat, pembaca, Atau bahkan sebagai tamu tak di undang. "salam kenal,mas"

Tulisan ini, kerap memebuatku terjebak, pada peristiwa yang mungkin pernah ku alami. ah, ada kata yang membuatku geli disini! tapi...pernahkah mas menyalami kota dengan terbahak lalu pergi?
yang jelas aku tak mengerti mengapa tulisan ini bisa teramat dekat dengan permainan teka-teki yang biasa ku melaluinya dengan rasa resah,sakit,lapar, dan gerimis diluar jendela yang pahit.
ah, hanya sebuah tulisan, tapi ada sebuah nisan?

Anonim mengatakan...

@ negeri hujan :

waalaikumsalam wr wb,

negeri hujan yang baik, aduh, bagaimana bilangnya ya... masa saya dipanggil "mas" ya? salah atau sengaja ini? foto saya rupanya masih terlalu absurd dan kurang menjelaskan kah? heuheu.. (tertawa ampang)

tak ada tamu tak diundang di sini, seperti juga bukankah sya tidak perlu minta maaf kalau panjenengan merasa terjebak oleh tulisan di atas itu? :)

kata apa itu, yang membuat panjenengan geli?

yah, apakah ini memang HANYA sebuah tulisan seperti njenengan bilang ?
entahlah.

apapun, terimakasih sudah sedia singgah :)

Anonim mengatakan...

@ joko :

haha.. terimakasih, biasa saja, joko :)

negeri hujan mengatakan...

ada yang sengaja menutup pintu dengan kepalanya?
ah, siapa diluar, selain kesunyian yang nampak begitu manis atau bahkan seperti hujan dan kau berpeluk resah dengan igauannmu sebagai seorang penghalusinasi kebenaran. kau tak mengerti bahwa dalam kata ada yang sengaja mematahkan tubuhmu!

Anonim mengatakan...

@ negeri hujan :

oya? bersedia membantuku untuk mengerti atau bagaimana ?

Unknown mengatakan...

boleh membantu el?
dan hanya ada batu-batu di luaran. selain nama-nama yang hanya memenuhi dinding juga tempurung kepala kita. tak ada apa-apa selain kesunyian katamu. maka yang kau baca itulah kebenaran. yang menghabisimu melebihi kata-kata. "gemetar lalu tiada",..
aduh sakit,.. sakit,..
akuilah kita benar-benar sakit!

Anonim mengatakan...

@ doa di putik kamboja
@ negeri hujan


terimakasih untuk kalian.
aku membaca, aku membaca. :)

Anonim mengatakan...

@ negerihujan :

oh ya, ada yang terlewat, sepertinya memang ada sebuah nisan. namun aku terlalu gamang untuk menuliskan nama. ah, bukankah tak pernah ada sesuatupun yang bisa benarbenar mati, yang ada hanyalah perubahan wujud. jikapun ia adalah segi banyak tak beraturan, bukankah padanya tetap tercetak sebuah bentuk?

Unknown mengatakan...

tetap tercetak dalam bentuk? barangkali mungkin saja. el kenapa kau gamang menulis nama? tulis saja namamu, namanya atau siapa. ngawur lak wis. hehe2x

Anonim mengatakan...

@ doa di putik kamboja :


hahahaaaa..... ^_^